Minggu, 10 Mei 2015

Ketentuan Pidana Praktek Kebidanan

MAKALAH
KETENTUAN PIDANA PRAKTEK KEBIDANAN

LOGO UNRIYO (1).png

Disusun oleh :
1.     Winei Handriani                                               (14140060)
2.     Desty Octhavia Yulianthy                                (14140067)
3.     Zulia Jayanty                                                    (14140081)
4.     Endang Turmanah                                            (14140101)
5.     Muliati                                                              (14140105)
6.     Pratitis Indri                                                     (14140111)
7.     Kiki Rizki                                                         (14140112)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA

2014/2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bidan merupakan suatu profesi yang mana dalam setiap asuhan dan tindakan yang dilakukan memiliki sebuah tanggung jawab yang besar. Apabila seorang bidan melakukan suatu kesalahan yang dilakukan, maka ia akan mendapatkan sanksi dan hukuman yang telah ditetapkan oleh pemenkes.

Bidan sebagai pemberi pelayanan harus menjamin pelayanan yang profesional dan akuntabilitas serta aspek legal dalam pelayanan kebidanan. Bidan sebagai praktisi pelayanan harus menjaga perkembangan praktik berdasarkan evidence based (fakta yang ada) sehingga berbagai dimensi etik dan bagaimna kedekatan tentang etika merupakan hal yang penting untuk digali dan dipahami.

Dalam melakukan tindakan–tindakan tersebut, selain melakukan sesuai dengan standar bidan juga harus memperhatikan norma, etika profesi, kode etik profesi dan hukum profesi dalam setiap tindakannya. Sehingga dalam melakukan prakteknya, seorang bidan dapat melakukan sesuai standart yang sudah ditentukan oleh undang undang dan peraturan yang berlaku.

1.2  Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan ketentuan pidana?
b. Apa yang dimaksud dengan praktek kebidanan?
c. Pasal apa saja yang mengatur tentang ketentuan pidana?
d. Perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan bidan beserta pasal yang mengatur?
e. Seperti apa contoh kasus malpraktek bidan (aborsi)?
f. Bagaimana cara untuk membahas kasus aborsi tersebut?
g. Bagaimana hukum yang mengatur aborsi menurut UU?

1.3  Tujuan
a.  Untuk mengetahui pengertian ketentuan pidana
b. Untuk mengetahui pengertian praktek kebidanan
c.  Untuk mengetahui pasal yang mengatur ketentuan pidana
d. Untuk mengetahui perbuatan yang tidak boleh dilakukan bidan beserta pasal yang mengatur
e. Untuk mengetahui contoh kasus malpraktek bidan (aborsi)
f. Untuk mengetahui cara membahas kasus abors
g. Untuk mengetahui hukum yang mengatur aborsi

1.4  Manfaat
Untuk memenuhi tugas etika profesi dalam kebidanan serta  menambah wawasan mengenai permenkes tentang registrasi dan praktek bidan. Di samping itu memberikan informasi mengenai peraturan menteri kesehatan tentang registrasi dan praktek bidan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana adalah ketentuan yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindakan pidana. Ketentuan pidana harus berdasarkan kepada ketentuan undang-undang (pidana). Pidana berlatar belakang tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dll.

2.2  Pengertian Praktek Kebidanan
Praktek kebidanan adalah asuhan yang diberikan oleh bidan secara mandiri baik pada perempuan yang menyangkut proses reproduksi, kesejahteraan ibu dan janin/bayinya, masa antara dalam lingkup praktek kebidanan juga termasuk pendidikan kesehatan dalam hal proses, reproduksi untuk keluarga dan komunitasnya.

Praktek kebidanan berdasarkan prinsip kemitraan dengan perempuan bersifat holistik dan menyatukannya dengan pemahaman akan pengaruh sosial, emosional, budaya, spiritual, psikologi dan fisik dari pengalaman reproduksinya.Praktek kebidanan bertujuan menurunkan/menekan mortalitas dan morbilitas ibu dan bayi yang berdasarkan ilmu-ilmu kebidanan, kesehatan, medis dan sosial untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan ibu dan janin/bayinya.

2.3  Pasal yang Mengatur Ketentuan Pidana
a. Kepmenkes RI No. 900/MENKES/SK/VII/2002
Kepmenkes RI No. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan pada Bab IX pasal 42 sampai pasal 44 mengenai ketentuan pidana yang mana bunyi pasal tersebul ialah:
1. Pasal 42, bidan yang dengan sengaja:
a. Melakukan praktik kebidanan tanpa mendapat pengakuan / adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau
b. Melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
c. Melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2), dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.

2. Pasal 43
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang tidak melaporkan bidan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan/atau mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai izin praktik dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.

3. Pasal 44
a. Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. Bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam keputusan ini dapat dikenakan tindakan disiplin berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin.
b. Pengambilan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Permenkes RI No. 1464/MENKES/PER/X/2010
Permenkes RI No. 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang izin penyelenggaraan praktek bidan pada pasal 23 sampai pasal 24 mengenai ketentuan pidana yang mana bunyi pasal tersebut adalah:
1. Pasal 23
a. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
b. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
      1. Teguran lisan
      2. Teguran tertulis
      3. Pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
      4. Pencabutan SIKB/SIPB selamanya

      2. Pasal 24
     a. Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan sanksi berupa rekomendasi pencabutan surat izin/STR kepada kepala dinas kesehatan provinsi/Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terhadap Bidan yang melakukan praktik tanpa memiliki SIPB atau kerja tanpa memiliki SIKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).
     b. Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin fasilitas pelayanan kesehatan sementara/tetap kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai SIKB.

2.4  Perbuatan yang Tidak Boleh Dilakukan Bidan beserta Pasal yang Mengatur
a. Tidak memberi pertolongan pertama kepada pasien
1. Pasal 190
- Ayat (1) menentukan bahwa “Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Pada ayat (2) ditentukan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b. Tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional
- Pasal 191 menentukan bahwa setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tindak pidana yang tercantum dalam Pasal ini merupakan tindak pidana materiil. Ancaman hukumannya jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan ancaman hukuman yang tercantum dalam Pasal 190 ayat (2), meskipun keduanya dapat mengakibatkan kematian.

c. Memperjual belikan organ atau jaringan tubuh
Pasal menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

d. Memperjual belikan darah
Darah sangat pentying peranannya bagi kesehatan seseorang. UU menentukan bahwa pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkna darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial. Karena itulah UU melarang darah untuk diperjual belikan dengan dalih apapun. Bagi yang melanggar larangan tersebut diancam dengan pidana, Pasal 195 menentukan setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (ima ratus juta rupiah).

e. Menghalangi program pemberian ASI eksklusif
Pasal 200 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eksklusif sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (2) dipidanan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

f. Aborsi
Aborsi dilarang oleh UU, kecuali berdasarkan indikasi kegawatdaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Itupun hanya dapat dilakukan setelah persyaratan yang ditentukan UU dipenuhi. Aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan UU merupakan tindak pidana. Pasal 194 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satyu miliar rupiah).

2.5  Contoh Kasus Malpraktek Bidan (Aborsi)
Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi di Kediri. Novila Sutiana (21), warga Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, tewas setelah berusaha menggugurkan janin yang dikandungnya. Ironisnya, korban tewas setelah disuntik obat perangsang oleh bidan puskesmas.

Peristiwa nahas ini bermula ketika Novila diketahui mengandung seorang bayi hasil hubungannya dengan Santoso (38), warga Desa Tempurejo, Kecamatan Wates, Kediri. Sayangnya, janin yang dikandung tersebut bukan buah perkawinan yang sah, namun hasil hubungan gelap yang sudah dilakukan oleh Novila dan Santoso. Santoso sendiri sebenarnya sudah menikah dengan Sarti. Namun karena sang istri bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong, Santoso kerap tinggal sendirian di rumahnya. Karena itulah ketika bertemu dengan Novila yang masih kerabat bibinya di Ponorogo, Santoso merasa menemukan pengganti istrinya. Ironisnya, hubungan tersebut berlanjut menjadi perselingkuhan hingga membuat Novila hamil 3 bulan.

Panik melihat kekasihnya hamil, Santoso memutuskan untuk menggugurkan janin tersebut atas persetujuan Novila. Selanjutnya, keduanya mendatangi Endang Purwatiningsih (40), yang sehari-hari berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kediri. Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar informasi jika bidan Endang kerap menerima jasa pengguguran kandungan dengan cara suntik. Pada mulanya Endang sempat menolak permintaan Santoso dan Novila dengan alasan keamanan. Namun akhirnya dia menyanggupi permintaan itu dengan imbalan Rp2.100.000. Kedua pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang setelah turun menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang diketahui bertugas di salah satu puskesmas di Kediri melakukan aborsi.

Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia menyuntikkan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat tersebut akan mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin yang dikandungnya. "Ia (bidan Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul 6 jam setelah disuntik. Hal itu sudah pernah dia lakukan kepada pasien lainnya," terang Kasat Reskrim Polres Kediri AKP Didit Prihantoro di kantornya, Minggu (18/5/2008). Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami kontraksi hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh Santoso menuju rumahnya, Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi organ intimnya terus mengelurkan darah.

Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke Puskemas Puncu. Namun karena kondisi korban yang kritis, dia dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas medis di ruang gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal dunia pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB.

Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung menginterogasi Santoso di rumah sakit. Setelah mengantongi alamat bidan yang melakukan aborsi, petugas membekuk Endang di rumahnya tanpa perlawanan. Di tempat praktik sekaligus rumah tinggalnya, petugas menemukan sisa-sisa obat yang disuntikkan kepada korban. Saat ini Endang berikut Santoso diamankan di Mapolres Kediri karena dianggap menyebabkan kematian Novila. Lamin (50), ayah Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri mengaku kaget dengan kehamilan yang dialami anaknya. Sebab selama ini Novila belum memiliki suami ataupun pacar. Karena itu ia meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan menghukum pelaku.

2.6  Pembahasan Kasus
Dalam kasus tersebut bidan Endang telah melanggar ketentuan dari: KEPMENKES RI No 900/ MENKES/SK/VII/2002.
Pasal 25 ayat 1: “ Bidan yang menjalankan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta dalam memberikan pelayanan kebidanan berdasarkan standar profesi.”
Pasal 35 ayat 1: “ Bidan yang melakukan praktik dilarang: Menjalankan praktik apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin praktik, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi.

UU Kesehatan No 23 tahun 1992.
Pasal 15: Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan: Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.

Dalam kasus tersebut yang seharusnya dilakukan oleh bidan Endang adalahmemberikan informasi tentang efek samping dari tindakan aborsi bagi pasangan Novila dan Santoso. Karena bidan Endang sudah tahu dan sudah memberitahu efek terburuk yang akan terjadi setelah melakukan proses aborsi, bidan Endang hendaknya tetap menolak, tetap tidak melanggar norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan sehingga tidak tergiur dengan imbalan uang sebesar Rp.2.000.000,00.

Seharusnya bidan Endang memberikan suatu alternatif penyelesaian masalah secara kekeluargaan,atau meminta Novila dan Santoso untuk mengkonsultasikannya kepada dokter ahli yang berwenang, sehingga tidak melakukan indakan aborsi di tempat bidan Endang.Bidan Endang tidak melakukan tindakan aborsi tersebut karena sudah merupakan tindakan malpraktik civil yaitu melanggar standar profesi, melanggar standar kompetensi dan standar kewenangan.  Bidan Endang bukan merupakan tenaga ahli yang mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan aborsi.

Tenaga medis tertentu yang memiliki keahlian dan kewenangan khusus untuk melakukan aborsipun sebenarnya tidak dapat melakukan tindakan aborsi tersebut karena dalam kasus diatas kehamilan Novila tidak terdapat indikasi kegawat daruratan medis.

Akibat perbuatannya, bidan Endang diancam mendapatkan hukuman: KUHP Pasal 299 Ayat 1 yaitu “memberi harapan untuk pengguguran diancam 4 tahun penjara atau pidana denda paling banyak empat puluh ribu rupiah.”
Ayat 2 yaitu “mengambil keuntungan dari pengguguran tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, jika dia seorang tabib, bidan, apoteker, hukuman 4 tahun penjara ditambah sepertiganya.”
Ayat 3 yaitu “menggugurkan kandungan orang menjadi suatu profesi atau pencaharian, maka dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu.”

KUHP Pasal 348 yaitu “ sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya atau mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam pidana paling lama limatahun enam bulan, paling lama tujuh tahun.”
KUHP pasal 349 yaitu “ seorang dokter, bidan, dan apoteker membantu melakukan kejahatan tersebut dalam pasal 346, 347, dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal tersebut ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan mata pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.”

KEPMENKES RI No 900/MENKES/SK/VII/2002 pasal 42 (c) yaitu “ melakukan praktik kebidanan tidak sesui dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga Kesehatan. ”

UU Kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 80 yaitu “ Barang sipa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu pada ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).”

2.7  Hukum Aborsi Menurut UU
Ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus justru tidak bersifat mutlak. Abortus buatan atau abortus provokatus yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Disebut dengan abortus provocatus therapeticus, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu. Abortus atas indikasi medik ini diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:
Dalam pasal 15 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 sebagai berikut:
a. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
b. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan:
      1. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut
2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
4. Pada sarana kesehatan tertentu.

Beberapa pasal yang mengatur abortus provocatus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) :
Pasal 229:
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karenapengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 314: Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 342: Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 343:Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.

Pasal 347:
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348:
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

Pasal 535: Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Selain KUHP, abortus buatan yang ilegal juga diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:

PASAL 80:
1. Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak melaksanakan ketentuan tentang jaminan pemeliharaan keschatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
4. Barang siapa dengan sengaja:
a. Mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
b. Memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
      Keputusan mentri kesehatan mengenai registrasi dan praktek bidan dapat di golongkan atas beberapa bab, diantaranya tentang praktik bidan ,pencatatan dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan tentang surat penugasan dan ijin praktek semuanya telah tercantum dalam Permenkes RI  No.1464/ Menkes/X/2010 dan Permenkes RI No.900/Menkes/SK/VII/2002.

3.2  Saran
      Semoga dengan adanya keputusan  Menteri kesehatan Republik Indonesia  mengenai registrasi dan praktek bidan ini menjadi pedoman terhadap para bidan dan calon bidan dalam menjalankan praktik dan tindakan yang akan di lakukan. Sehingga dapat melakukan praktik kebidanan sesuai dengan standar. 


DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar