MAKALAH
KETENTUAN
PIDANA PRAKTEK KEBIDANAN

Disusun
oleh :
1. Winei
Handriani (14140060)
2. Desty
Octhavia Yulianthy (14140067)
3. Zulia
Jayanty (14140081)
4. Endang
Turmanah (14140101)
5. Muliati (14140105)
6. Pratitis
Indri (14140111)
7. Kiki
Rizki (14140112)
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
2014/2015
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bidan merupakan suatu profesi yang mana dalam
setiap asuhan dan tindakan yang dilakukan memiliki sebuah tanggung jawab yang
besar. Apabila seorang bidan melakukan suatu kesalahan yang dilakukan, maka ia
akan mendapatkan sanksi dan hukuman yang telah ditetapkan oleh pemenkes.
Bidan sebagai pemberi pelayanan
harus menjamin pelayanan yang profesional dan akuntabilitas serta aspek legal
dalam pelayanan kebidanan. Bidan sebagai praktisi pelayanan harus menjaga
perkembangan praktik berdasarkan evidence based (fakta yang ada) sehingga
berbagai dimensi etik dan bagaimna kedekatan tentang etika merupakan hal yang
penting untuk digali dan dipahami.
Dalam melakukan tindakan–tindakan tersebut, selain
melakukan sesuai dengan standar bidan juga harus memperhatikan norma, etika
profesi, kode etik profesi dan hukum profesi dalam setiap tindakannya. Sehingga
dalam melakukan prakteknya, seorang bidan dapat melakukan sesuai standart yang
sudah ditentukan oleh undang undang dan peraturan yang berlaku.
1.2
Rumusan Masalah
a. Apa
yang dimaksud dengan ketentuan pidana?
b. Apa
yang dimaksud dengan praktek kebidanan?
c. Pasal
apa saja yang mengatur tentang ketentuan pidana?
d. Perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan
bidan beserta pasal yang mengatur?
e. Seperti
apa contoh kasus malpraktek bidan (aborsi)?
f. Bagaimana
cara untuk membahas kasus aborsi tersebut?
g. Bagaimana hukum yang mengatur aborsi menurut
UU?
1.3
Tujuan
a. Untuk
mengetahui pengertian ketentuan pidana
b. Untuk
mengetahui pengertian praktek kebidanan
c. Untuk
mengetahui pasal yang mengatur ketentuan pidana
d. Untuk
mengetahui perbuatan yang tidak boleh dilakukan bidan beserta pasal yang mengatur
e. Untuk
mengetahui contoh kasus malpraktek bidan (aborsi)
f. Untuk
mengetahui cara membahas kasus abors
g. Untuk
mengetahui hukum yang mengatur aborsi
1.4
Manfaat
Untuk memenuhi tugas etika profesi dalam
kebidanan serta menambah wawasan mengenai permenkes tentang registrasi
dan praktek bidan. Di samping itu memberikan informasi mengenai peraturan menteri
kesehatan tentang registrasi dan praktek bidan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Ketentuan Pidana
Ketentuan
pidana adalah ketentuan yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang
telah terbukti bersalah melakukan suatu tindakan pidana. Ketentuan pidana harus
berdasarkan kepada ketentuan undang-undang (pidana). Pidana berlatar belakang
tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan
dan dilarang, dll.
2.2
Pengertian Praktek Kebidanan
Praktek kebidanan adalah
asuhan yang diberikan oleh bidan secara mandiri baik pada perempuan yang
menyangkut proses reproduksi, kesejahteraan ibu dan janin/bayinya, masa antara
dalam lingkup praktek kebidanan juga termasuk pendidikan kesehatan dalam hal proses,
reproduksi untuk keluarga dan komunitasnya.
Praktek kebidanan berdasarkan
prinsip kemitraan dengan perempuan bersifat holistik dan menyatukannya dengan
pemahaman akan pengaruh sosial, emosional, budaya, spiritual, psikologi dan
fisik dari pengalaman reproduksinya.Praktek kebidanan bertujuan menurunkan/menekan
mortalitas dan morbilitas ibu dan bayi yang berdasarkan ilmu-ilmu kebidanan,
kesehatan, medis dan sosial untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatan ibu dan janin/bayinya.
2.3
Pasal
yang Mengatur Ketentuan Pidana
a. Kepmenkes RI
No. 900/MENKES/SK/VII/2002
Kepmenkes RI No.
900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan pada Bab IX pasal
42 sampai pasal 44 mengenai ketentuan pidana yang mana bunyi pasal tersebul
ialah:
1. Pasal 42, bidan yang dengan sengaja:
a. Melakukan praktik kebidanan tanpa
mendapat pengakuan / adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dan/atau
b. Melakukan praktik kebidanan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
c. Melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat
(2), dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.
2. Pasal 43
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang tidak
melaporkan bidan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan/atau
mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai izin praktik dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.
3. Pasal 44
a. Dengan tidak
mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. Bidan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam keputusan ini dapat
dikenakan tindakan disiplin berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai
dengan pencabutan izin.
b. Pengambilan
tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Permenkes RI
No. 1464/MENKES/PER/X/2010
Permenkes RI No. 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang
izin penyelenggaraan praktek bidan pada pasal 23 sampai pasal 24 mengenai
ketentuan pidana yang mana bunyi pasal tersebut adalah:
1. Pasal 23
a. Dalam
rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat
memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
b. Tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
1. Teguran
lisan
2. Teguran tertulis
3. Pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling
lama 1 (satu) tahun; atau
4. Pencabutan SIKB/SIPB selamanya
2. Pasal 24
a. Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat
memberikan sanksi berupa rekomendasi pencabutan surat izin/STR kepada kepala
dinas kesehatan provinsi/Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terhadap
Bidan yang melakukan praktik tanpa memiliki SIPB atau kerja tanpa memiliki SIKB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).
b. Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat
mengenakan sanksi teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin
fasilitas pelayanan kesehatan sementara/tetap kepada pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan yang mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai SIKB.
2.4
Perbuatan yang
Tidak Boleh Dilakukan Bidan beserta Pasal yang Mengatur
a. Tidak
memberi pertolongan pertama kepada pasien
1. Pasal 190
- Ayat
(1) menentukan bahwa “Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap
pasien dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Pada
ayat (2) ditentukan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
b. Tanpa
izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional
- Pasal
191 menentukan bahwa setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat
atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Tindak pidana yang
tercantum dalam Pasal ini merupakan tindak pidana materiil. Ancaman hukumannya
jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan ancaman hukuman yang tercantum dalam
Pasal 190 ayat (2), meskipun keduanya dapat mengakibatkan kematian.
c. Memperjual
belikan organ atau jaringan tubuh
Pasal menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperjual
belikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
d. Memperjual
belikan darah
Darah sangat pentying peranannya bagi kesehatan seseorang. UU
menentukan bahwa pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang
memanfaatkna darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan
tidak untuk tujuan komersial. Karena itulah UU melarang darah untuk diperjual
belikan dengan dalih apapun. Bagi yang melanggar larangan tersebut diancam dengan pidana, Pasal
195 menentukan setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan darah dengan
dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (ima ratus juta rupiah).
e. Menghalangi
program pemberian ASI eksklusif
Pasal 200 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
menghalangi program pemberian ASI eksklusif sebagaimana dimaksud dalam pasal
128 ayat (2) dipidanan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
f. Aborsi
Aborsi dilarang oleh UU, kecuali berdasarkan indikasi
kegawatdaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan. Itupun hanya dapat dilakukan setelah
persyaratan yang ditentukan UU dipenuhi. Aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan UU merupakan tindak
pidana. Pasal 194 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan
aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satyu miliar rupiah).
2.5 Contoh Kasus Malpraktek Bidan
(Aborsi)
Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi di
Kediri. Novila Sutiana (21), warga Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan Sukorejo,
Ponorogo, Jawa Timur, tewas setelah berusaha menggugurkan janin yang
dikandungnya. Ironisnya, korban tewas setelah disuntik obat perangsang oleh
bidan puskesmas.
Peristiwa nahas ini bermula ketika Novila
diketahui mengandung seorang bayi hasil hubungannya dengan Santoso (38), warga
Desa Tempurejo, Kecamatan Wates, Kediri. Sayangnya, janin yang dikandung
tersebut bukan buah perkawinan yang sah, namun hasil hubungan gelap yang sudah
dilakukan oleh Novila dan Santoso. Santoso sendiri sebenarnya sudah menikah
dengan Sarti. Namun karena sang istri bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW)
di Hongkong, Santoso kerap tinggal sendirian di rumahnya. Karena itulah ketika
bertemu dengan Novila yang masih kerabat bibinya di Ponorogo, Santoso merasa
menemukan pengganti istrinya. Ironisnya, hubungan tersebut berlanjut menjadi
perselingkuhan hingga membuat Novila hamil 3 bulan.
Panik melihat kekasihnya hamil, Santoso
memutuskan untuk menggugurkan janin tersebut atas persetujuan Novila.
Selanjutnya, keduanya mendatangi Endang Purwatiningsih (40), yang sehari-hari
berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kediri. Keputusan itu
diambil setelah Santoso mendengar informasi jika bidan Endang kerap menerima
jasa pengguguran kandungan dengan cara suntik. Pada mulanya Endang sempat
menolak permintaan Santoso dan Novila dengan alasan keamanan. Namun akhirnya
dia menyanggupi permintaan itu dengan imbalan Rp2.100.000. Kedua pasangan mesum
tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang setelah turun menjadi Rp2.000.000.
Hari itu juga, bidan Endang yang diketahui bertugas di salah satu puskesmas di
Kediri melakukan aborsi.
Metode yang dipergunakan Endang cukup
sederhana. Ia menyuntikkan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc
yang dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh Novila.
Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat tersebut akan mengalami
kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin yang dikandungnya. "Ia (bidan
Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul 6 jam setelah disuntik. Hal
itu sudah pernah dia lakukan kepada pasien lainnya," terang Kasat Reskrim
Polres Kediri AKP Didit Prihantoro di kantornya, Minggu (18/5/2008). Celakanya,
hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami kontraksi hebat.
Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh Santoso menuju
rumahnya, Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit.
Apalagi organ intimnya terus mengelurkan darah.
Warga yang melihat peristiwa itu langsung
melarikannya ke Puskemas Puncu. Namun karena kondisi korban yang kritis, dia
dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas medis di ruang gawat darurat
tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal dunia pada hari Sabtu pukul
23.00 WIB.
Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung
menginterogasi Santoso di rumah sakit. Setelah mengantongi alamat bidan yang
melakukan aborsi, petugas membekuk Endang di rumahnya tanpa perlawanan. Di
tempat praktik sekaligus rumah tinggalnya, petugas menemukan sisa-sisa obat
yang disuntikkan kepada korban. Saat ini Endang berikut Santoso diamankan di
Mapolres Kediri karena dianggap menyebabkan kematian Novila. Lamin (50), ayah
Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri mengaku kaget dengan kehamilan yang
dialami anaknya. Sebab selama ini Novila belum memiliki suami ataupun pacar.
Karena itu ia meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan
menghukum pelaku.
2.6 Pembahasan Kasus
Dalam kasus tersebut bidan Endang telah
melanggar ketentuan dari: KEPMENKES RI No 900/ MENKES/SK/VII/2002.
Pasal 25 ayat 1: “ Bidan yang menjalankan
praktik harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan
dan pengalaman serta dalam memberikan pelayanan kebidanan berdasarkan standar
profesi.”
Pasal 35 ayat 1: “ Bidan yang melakukan praktik
dilarang: Menjalankan praktik apabila tidak sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam izin praktik, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
standar profesi.
UU Kesehatan No
23 tahun 1992.
Pasal 15: Dalam keadaan darurat sebagai upaya
untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan
medis tertentu. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya
dapat dilakukan: Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli.
Dalam kasus tersebut yang seharusnya dilakukan
oleh bidan Endang adalahmemberikan informasi tentang efek samping dari tindakan
aborsi bagi pasangan Novila dan Santoso. Karena bidan Endang sudah tahu dan
sudah memberitahu efek terburuk yang akan terjadi setelah melakukan proses
aborsi, bidan Endang hendaknya tetap menolak, tetap tidak melanggar norma
agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan sehingga tidak tergiur dengan
imbalan uang sebesar Rp.2.000.000,00.
Seharusnya bidan Endang memberikan suatu
alternatif penyelesaian masalah secara kekeluargaan,atau meminta Novila dan
Santoso untuk mengkonsultasikannya kepada dokter ahli yang berwenang, sehingga
tidak melakukan indakan aborsi di tempat bidan Endang.Bidan Endang tidak
melakukan tindakan aborsi tersebut karena sudah merupakan tindakan malpraktik
civil yaitu melanggar standar profesi, melanggar standar kompetensi dan standar
kewenangan. Bidan Endang bukan merupakan
tenaga ahli yang mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan aborsi.
Tenaga medis tertentu yang memiliki keahlian
dan kewenangan khusus untuk melakukan aborsipun sebenarnya tidak dapat
melakukan tindakan aborsi tersebut karena dalam kasus diatas kehamilan Novila
tidak terdapat indikasi kegawat daruratan medis.
Akibat perbuatannya, bidan Endang diancam
mendapatkan hukuman: KUHP Pasal 299 Ayat 1 yaitu “memberi harapan untuk
pengguguran diancam 4 tahun penjara atau pidana denda paling banyak empat puluh
ribu rupiah.”
Ayat 2 yaitu “mengambil keuntungan dari
pengguguran tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, jika dia seorang
tabib, bidan, apoteker, hukuman 4 tahun penjara ditambah sepertiganya.”
Ayat 3 yaitu “menggugurkan kandungan orang
menjadi suatu profesi atau pencaharian, maka dicabut haknya untuk melakukan
pencaharian itu.”
KUHP Pasal 348 yaitu “ sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya atau
mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam pidana paling lama limatahun
enam bulan, paling lama tujuh tahun.”
KUHP pasal 349 yaitu “ seorang dokter, bidan,
dan apoteker membantu melakukan kejahatan tersebut dalam pasal 346, 347, dan
348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal tersebut ditambah dengan sepertiga
dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan mata pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan.”
KEPMENKES RI No 900/MENKES/SK/VII/2002 pasal 42
(c) yaitu “ melakukan praktik kebidanan tidak sesui dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2) dipidana sesuai dengan
ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga
Kesehatan. ”
UU Kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 80 yaitu “
Barang sipa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu pada ibu hamil
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).”
2.7 Hukum
Aborsi Menurut UU
Ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus justru tidak bersifat
mutlak. Abortus buatan atau abortus provokatus yaitu pengguguran kandungan yang
dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Disebut dengan abortus provocatus therapeticus, karena alasan yang sangat
mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu. Abortus atas
indikasi medik ini diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan:
Dalam pasal 15 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 sebagai berikut:
a. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
b. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan:
1. Berdasarkan
indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut
2. Oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
3. Dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
4. Pada
sarana kesehatan tertentu.
Beberapa pasal yang mengatur abortus provocatus dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) :
Pasal 229:
1. Barang
siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karenapengobatan itu
hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2. Jika
yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan
perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang
tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3. Jika
yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka
dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 314: Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan
melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan
sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 342: Seorang ibu
yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa
akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian
merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri
dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343:Kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan,
sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
Pasal 347:
1. Barangsiapa
dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2. Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal 348:
1. Barangsiapa
dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.
2. Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
Pasal 349: Jika seorang
dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 535: Barang siapa
secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan
kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun
secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk
sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan
kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
Selain KUHP, abortus buatan yang ilegal juga diatur dalam Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:
PASAL 80:
1. Barang
siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Barang
siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan
pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum dan tidak memiliki
izin operasional serta tidak melaksanakan ketentuan tentang jaminan
pemeliharaan keschatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2)
dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Barang
siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
4. Barang
siapa dengan sengaja:
a. Mengedarkan
makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan
atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
b. Memproduksi
dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak
memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Keputusan mentri kesehatan mengenai registrasi dan
praktek bidan dapat di golongkan atas beberapa bab, diantaranya tentang praktik
bidan ,pencatatan dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan pidana,
serta ketentuan peralihan tentang surat penugasan dan ijin praktek semuanya
telah tercantum dalam Permenkes RI No.1464/ Menkes/X/2010 dan Permenkes
RI No.900/Menkes/SK/VII/2002.
3.2
Saran
Semoga
dengan adanya keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia
mengenai registrasi dan praktek bidan ini menjadi pedoman terhadap para bidan
dan calon bidan dalam menjalankan praktik dan tindakan yang akan di lakukan.
Sehingga dapat melakukan praktik kebidanan sesuai dengan standar.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar